Politik

Diskusi Kontroversi Fatwa Haram MUI tentang Merokok dan Golput

Kontoversi terus bermunculan setelah keluarnya fatwa haram MUI terhadap golongan putih atau golput yang memilih tidak terlibat dalam Pemilu 2009 serta empat kategori. Untuk mengupas lebih jauh, sebuah diskusi pun digelar. Berikut petikan hasil diskusinya.

Fatwa MUI Membuka Ruang Interpretasi

FATWA haram terhadap golongan putih atau golput dinilai banyak kalangan masih absurd. Tidak ada ukuran yang jelas dalam menentukan pemimpin yang baik atau tidak.

IJTIMA ulama berupa fatwa haram terhadap golongan putih dan rokok telah melalui perjalanan yang cukup panjang. Sejak 24 Oktober 2008 lalu telah direncanakan dan pelaksanaannya pada 26 Januari 2009.

Kontroversi pun merebak dengan lahirnya fatwa itu. Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, Prof Muh Ghalib, menilai ada pemahaman yang keliru di masyarakat terkait fatwa haram terhadap golput itu.

Keputusan Ijtima’ para ulama menyebutkan bahwa memilih pemimpin yang siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, hukumnya wajib ain. Tetapi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat itu, atau tidak memilih pemimpin sama sekali, padahal ada pemimpin yang memenuhi syarat, hukumnya haram.

“Memang yang muncul di permukaan adalah golput itu haram. Tetapi kenyataannya, ada keinginan agar pemimpin yang terpilih memiliki kemampuan membawa negara ini lebih baik pada masa yang akan datang,” jelas Ghalib saat tampil sebagai pembicara pada diskusi bertajuk “Kontroversi Fatwa Haram MUI tentang Merokok dan Golput” di Studio Redaksi Fajar, Kamis siang, 29 Januari.

Namun, pengamat politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Dr Hamdan Juhannis, masih melihat adanya ruang interpretasi yang lebar dari fatwa-fatwa haram tersebut. Penentuan pemimpin yang memenuhi syarat seperti dimaksud MUI, katanya, sangat subjektif. Bisa saja, pendapat seseorang sudah memenuhi syarat, tetapi orang lain mengatakan belum.

Jika dikatakan fatwa itu sekadar imbauan, Hamdan juga tidak setuju. Alasannya, ada ranah tersendiri jika sekadar imbauan, dan bukan haram. “Masalahnya, ini klaim haram. Di sini persoalannya,” katanya.

Adanya fatwa haram, dikhawatirkan MUI bisa jadi gagal mengemban fungsi dan tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Persoalannya, fatwa itu tidak masuk dalam ranah hukum positif yang diatur oleh negara.

Hamdan mencontohkan kasus di Australia, di mana memilih adalah kewajiban. Setiap orang yang tidak memilih, akan dikirimi tagihan dan harus membayarnya. “Itu tidak masalah, karena tidak dibawa ke akhirat. Tetapi jika dikatakan dosa, akan dibawa ke akhirat,” ungkapnya.

Pengamat hukum Unhas, Prof Dr Aswanto, menilai fatwa haram MUI masih harus didiskusikan lebih lanjut. Dari perspektif hukum, kata mantan ketua Panwaslu Sulsel ini, yang difatwakan adalah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau lazim disebut golput.

Ukuran calon pemimpin yang baik atau tidak baik, juga dinilainya sangat subyektif. Menurutnya, MUI seharusnya bekerja lebih strategis lagi. Seperti apa itu, antara lain dengan jalan meminta para legislator di DPR yang beragama Islam agar membuat regulasi yang lebih baik.

“Jika MUI ingin mengambil bagian dalam konteks berbangsa dan bernegara, mestinya memberikan masukan kepada penentu kebijakan agar membuat regulasi yang mendorong orang tidak menjadi golput,” Aswanto menyarankan.

Ketua Lembaga Ombudsman Kota Makassar ini mengaku fatwa tersebut akan kontraproduktif. Bahkan dapat berimplikasi pada munculnya dugaan bahwa para ulama telah masuk ke ranah politik praktis. “Ketika Umat Islam menilai para pemimpin agamanya seperti itu, akan sangat berbahaya,” tegas Aswanto dalam diskusi yang disiarkan secvara langsung oleh Fajar FM tersebut.

Fatwa golput haram, lanjut dia, harus dikaji untuk mengetahui bentuk keprihatinan MUI melihat partisipasi masyarakat pemilu yang sangat rendah. Semestinya, yang dilakukan MUI adalah memfatwakan haram jika memilih karena diberikan sesuatu.

Mendapat “serangan” bertubi-tubi dari Hamdan dan Aswanto, Ghalib yang mewakili MUI mengatakan bahwa fatwa haram itu sebagai bentuk responsif MUI terhadap persoalan yang muncul di masyarakat. Sesuai ajaran Islam, katanya, umat Islam diperintahkan mengikuti pemimpinnya.

“Pemilu itu sarana memilih pemimpin. Jika kita mengikuti aturan ini, maka wajib berpartisipasi memilih pemimpin. Kita wajib memilih alias berdosa kalau tidak memilih jika ada pemimpin yang memenuhi syarat,” jelas Ghalib dalam diskusi yang dipandu Kolumnis Fajar, Fuad Rumi.

Golput telah dianggap sebagai masalah strategis kebangsaan, sehingga MUI prihatin terhadap masalah itu. Kalaupun ada kekurangan, ujarnya, seharusnya masyarakat tidak memilih golput dan berjalan tanpa pemimpin.

Mengutip pendapat ulama, 60 tahun di bawah pemimpin yang korup, masih lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin. “Fatwa ini bukan karena pola NU atau Muhammadiyah. Ada banyak organisasi yang lain dalam MUI, dan semuanya terlibat dalam ijtima’ tersebut,” tegasnya.


************

Efektivitas Fatwa MUI Terpulang pada Kesadaran Umat

“LEWAT kepulan asap rokok, kubayangkan ribuan buruh pabrik rokok meninggalkan pengajian rutin demi memburu upah lembur”. Sepenggal kalimat itu buah karya budayawan Emha Ainun Najib yang dikutip Ketua KPID Sulsel, Aswar Hasan, saat mengikuti diskusi bertajuk “Kontroversi Fatwa Haram MUI tentang Merokok dan Golput” di Studio Redaksi Fajar, Kamis, 29 Januari.

HARIFUDDIN, Makassar

HAMPIR semua orang menyadari dampak negatif yang terkandung dalam sebatang rokok bagi kesehatan. Beberapa bahan berbahaya seperti asam asetik, naptalin, asetanisol, geraniol, toulene, dan lainnya (thetruth.com), tanpa disadari juga ikut terisap.

Keberadaan berbagai bahaya dalam rokok juga tidak diakui pengamat politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Dr Hamdan Juhannis. Namun, dia juga tidak mendukung materi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok.

Fatwa haram itu dinilainya bisa berdampak pada menurunnya sensitifitas hukum Umat Islam. Selain itu, pandangan terhadap sakralitas agama dikhawatirkannya akan menurun. “Itu bila terlalu sering ada fatwa haram pada berbagai aspek kehidupan dan tidak dihiraukan oleh umat Islam,” ujarnya mengingatkan.

Hamdan khawatir, orang akan beranggapan bahwa fatwa haram yang akan keluar, bukan fatwa haram yang sebenarnya. Mulai terbukti dari banyaknya fatwa yang dikeluarkan sebelumnya, tetapi tidak diikuti. Misalnya fatwa haram menonton tayangan infotainment  dan bunga bank.

Hamdan yang meraih gelar doktor dari Australian National University, Canberra, Australia, khawatir masyarakat akan memiliki resistensi yang tinggi terhadap fatwa MUI. Efek lainnya, masyarakat tidak sensitif lagi terhadap hukum yang diberikan.

“Ketika ada fatwa yang dikeluarkan lagi, masyarakat bertanya, apakah ini fatwa haram benar atau fatwa haram-haraman. Jangan-jangan, haram yang berlaku seperti orang Arab yang berarti tidak boleh,” ujarnya.

Terlebih lagi, fatwa itu mengharamkan anak-anak untuk merokok. Itu berarti, anak-anak sudah terkena dampak hukum. Padahal menurutnya, anak-anak belum mukallaf (belum wajib melaksanakan hukum syariat).

Efek fatwa-fatwa haram yang dikeluarkan MUI sebenarnya telah melalui proses telaahan yang panjang. Sekretaris MUI Sulsel, Prof Dr Muh Ghalib mengatakan, seluruh lembaga muslim terlibat dalam fatwa itu.

“Memang mayoritas menyatakan haram, dan sebagian menyatakan makruh. Nah, ada kesan dari sebagian masyarakat kita bahwa yang tidak disebutkan dalam kelompok itu boleh-boleh saja,” katanya.

Kelompok yang diharamkan mengisap rokok oleh MUI adalah anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta pengurus MUI sendiri. Ada kekhawatiran, jika rokok diharamkan, nasib petani tembakau, pabrik dan buruh rokok, pendapatan negara dari cukai menjadi tidak jelas.

Kekhawatiran itu diakuinya telah menjadi pertimbangan. Namun harus dipikirkan juga banyaknya masyarakat yang sakit akibat rokok. Belum lagi begitu banyak uang yang terhambur. Semua orang juga tahu betapa bahayanya rokok.

Lantas, apakah fatwa itu efektif dan dijalankan oleh umat Islam? Ghalib menyerahkannya kepada masyarakat. “Terlalu kecil itu fatwa. Khusus Muslim, jangankan fatwa MUI, yang tercantum dalam Alquran saja banyak yang tidak melaksanakannya,” katanya.

Fatwa haram ini berpolemik, imbuhnya, karena banyak orang beranggapan bahwa fatwa sudah di atas segala-galanya. Padahal, merupakan tindak lanjut pelaksanaan ajaran yang tercantum dalam Alquran dan Hadis, terutama yang tidak tersurat, kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Jadi, sepanjang masih fatwa, diserahkan kepada masyarakat. Kalau dikatakan, mengapa MUI sering mengeluarkan fatwa, semata-mata, karena lembaga ini aspiratif terhadap persoalan umat. Persoalan mau percaya atau tidak, itu soal lain.

Pengamat hukum yang juga pengajar di Universitas Hasanuddin, Prof Dr Aswanto berpendapat bahwa fatwa haram untuk rokok hanya berupa penggalan yang tidak komprehensif. Dia juga sepakat bahwa dalam konteks agama, anak yang belum baligh, mestinya tidak berdosa.

Nah, justru dalam fatwa MUI tentang rokok, anak-anak yang merokok dianggap berdosa. “Lalu siapa yang akan menanggung dosanya. Sementara MUI mengatakan haram. Fatwa ini masih harus didiskusikan lebih lanjut,” ucapnya.

Prof Ghalib mengakui bahwa rokok memang menjadi persoalan serius dan telah diputuskan bahwa rokok itu memang sesuatu yang dilarang dalam agama. Tingkat pelarangan dalam hukum Islam ada dua, yakni makruh dan haram.

Mayoritas ulama menyepakati rokok itu haram dan sebagian lain menganggap tingkatannya hanya makruh. Tetapi kemudian disepakati anak-anak haram merokok. Pertimbangannya, diperlukan generasi pelanjut yang sehat dan tidak boros.

Wanita hamil diharamkan merokok agar dirinya serta janinnya sehat. Merokok di tempat umum dilarang, karena merusak kesehatan orang lain dan dirinya sendiri. Sedangkan pengurus MUI harus menjadi contoh dan bertanggung jawab agar fatwa diikuti oleh umat.

Kolumnis Fajar, Fuad Rumi, yang menjadi moderator dalam diskusi itu mencontohkan Singapura yang terkenal disiplin menerapkan aturan tentang rokok. Aturan itu dipatuhi, karena langsung diambil alih oleh pemerintah.

Aturan itu juga tanpa melalui proses fatwa. Memang diakuinya,

MUI sebagai representasi pembimbing umat, wajar jika prihatin. Apalagi jika ada aspirasi bahwa merokok sangat berbahaya, sehingga diputuskan mengeluarkan fatwa.

Seperti kata Muh Galib, efektivitas fatwa ini dikembalikan pada masyarakat. Puisi sastrawan senior Indonesia kelahiran Bukit Tinggi, Taufik Ismail, berjudul Tuhan Sembilan Senti, mungkin dapat menjadi bahan renungan, untuk memutuskan merokok atau tidak.

Berikut sepenggal buah karya Taufik Ismail “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.”

2 komentar di “Diskusi Kontroversi Fatwa Haram MUI tentang Merokok dan Golput

  1. ROkok memang hrs dilarang.

    Muhammadiyah dan MUI tetap punya pedoman Qur’an dan hadis.
    1. Rokok masuk kategori Khaba is yg dilarang di islam. (Q. 7. 157).
    2. Rokok jg mengandung unsur mencelakai or membunuh/menganiyaya diri, lihat di Q. 2:195 dan 4: 29.
    3. Rokok jg membahayakan org lain. Islam jelas melarang itu.
    4. Rokok jg merupakan tindakan pemborosan. 11% Keluarga miskin berdasarkan SENSUS membelanjakan uangnya utk rokok setelah beras. Melanggar Q.17:26-27.

    Begitu. Jadi mhn semua ucapan dan tindakan didasarkan pd telaah yg komprihensif. Alasan Kasihan petani tembakau dll, seperti membuat suatu alasan dengan membiarkan anak bermain hujan, karena keinginan anak tsb utk bermain hujan. Enak sekarang tapi merugikan dirinya kelak….

    Rasul pernah marah dan mengatakan bahwa manusia adlah makhluk yg banyak membantah.

    “Nabi saw.prnh dtng pd mlm hari ke rmh Ali..Beliau btanya:Tdkkah kalian akan salat?Ali mjawab:Wahai Rasulullah,sesgghnya jiwa kmi brada pd kekuasaan Allah.Jk Allah bkehendak mbangunkan kami,mk Dia akan bangunkan kami (kami akan salat).Kmdn Rasul saw.pergi stlah aku bkata dmkn.Sambil mninggalkan tempat&menepuk pahanya, Ali mdengar beliau bsabda:MANUSIA ADALAH MAKHLUK YANG PALING BANYAK MEMBANTAH.”(Shahih Muslim No.1294). walahualam…

Tinggalkan komentar